berbagi dalam kebaikan tidaklah mengurangi apa yang kita miliki, tetapi justru akan menambah apa yang sudah kita miliki :D

Master Degree

Politeknik Elektronika Negeri Surabaya

Misteri Ruang Bawah Tanah Chapter 1

Chapter 1: Death Room

Seorang cewek berambut pendek tengah sibuk menyusuri lorong-lorong yang sempit dan bercahaya remang-remang. Letaknya yang berada di bawah tanah membuatnya harus menuruni anak tangga berkali-kali.

Lelah memang.

Tapi, demi bertemu sang guru biologi yang membuat cewek itu tak henti-henti memikirkannya, dia rela setiap jam pulang sekolah harus mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja a.k.a KIR, di tempat yang dia tuju sekarang, di tempat yang akan membuatnya tak akan pernah melupakan kejadian-kejadian yang telah terukir di sana, di Ruang Lab Biologi.
.
.
.
Tap! Tap! Tap!

Hanya suara tapak sepatu lusuhnya yang terdengar. Cahaya lampu yang redup membuatnya harus ekstra melihat ke arah kanan-kirinya yang penuh bebatuan, walau sebenarnya dia sudah memakai kacamata minus milik kakaknya dahulu. Lantainya pun tak datar, semua serba bebatuan.

Eureka, nama gadis itu, merapatkan jaket kaosnya serapat mungkin. Dinginnya bawah tanah sukses membuatnya menggigil dalam keheningan.

Sebenarnya lorong-lorong ini tak bercabang. Hanya saja mungkin karena dia tak pernah mau memasuki lab biologi bawah tanah itu dan tak sudi mendengar apa pun yang berbau karya ilmiah, dia merasa kalau jalan lorong ini membuatnya mual.

Ditambah dengan aroma busuk yang menusuk.
Eureka masih tidak mengerti, mengapa ruang lab bawah tanah itu masih difungsikan. Padahal yang dia tahu 
sekolah SMA ini mempunyai banyak ruang kosong.

Menurut berita beredar yang pernah dia dengar, ruang lab itu merupakan bekas tempat pembantaian jaman Belanda dahulu.

Ukh, mengingat itu mendadak membuat kepalanya terasa berat. Ingin dia langkahkan kakinya balik keluar dari lorong sempit ini.

Tapi, rasanya terlambat, kini di depan hidungnya terpampang sebuah pintu kayu reyot yang menghubungkannya dengan ruang lab biologi itu.

Sunyi.

Dia tak mendengar satu orang pun yang berbicara di dalam. Rasanya benar-benar tak ada kehidupan di dalam ruangan itu. Dia merasakan aura ganjil. Dia merasa... aneh.

Atau jangan-jangan dia salah jalan?

Matanya tak sengaja menyorot papan besi kecil berkarat terpaku kuat di atas pintu reyot itu. Sebuah papan yang bertuliskan:

R. LAB BIOLOGI
.
.
.
“___Misteri Ruang Bawah Tanah___”
©Ai Hinamori (Azure Eureka)
Rated: T+
Genre: Misteri, Horor
Summary: Eureka tak pernah menduga kalau di sini, di tempat yang akan dia singgahi, terdapat berbagai macam misteri yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
.
.
.
Eureka menghela napas panjang. Walau berat, dia langkahkan tapak demi tapak kakinya menuju pintu itu. 
Udara dingin semakin menusuk-nusuk kulitnya. Tangannya tampak basah oleh keringat dingin.

Dia pegang gagang pintu itu kuat-kuat. Entah dari mana, rasa bimbang datang dan menjalar di kepalanya.

Buka, gak, ya? Buka, gak, ya? Buka, gak, ya?

Sekali lagi dia membuang napas panjang. Bermodal tekad demi menemui guru biologi tampan itu, apa pun akan dia lakukan!
.
Akhirnya dia buka lebar-lebar pintu kayu itu. Suaranya yang berdecit memberitahunya betapa tuanya pintu itu berdiri.

Dia melangkahkan kakinya satu langkah, dan mematung.

Matanya terbelalak lebar, jantungnya pun berdebar kencang. Terlihat guru berkacamata pujaan hatinya tengah 
konsentrasi membaca buku setebal Harry Potter. Rasa mual dan sebagainya hilang seketika, diganti dengan rasa girang bukan main.

Tapi saat itu juga perasaannya menciut, tatkala melihat hanya ada delapan anak yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler ini. Ditambah dia menjadi sembilan.

Semua tampak diam. Senyap. Tak ada satu pun yang berbicara, sesuai dugaannya. Masuknya dia ke dalam sini, pun, rasanya mereka tak menyadarinya.

Eureka meyakinkan dirinya kalau dia memang salah tempat.

Tempatnya bukan di sini.

Tempatnya adalah tempat di mana semuanya bergembira, bercanda, dan tertawa.

Sedangkan di sini?

Semua tampak bisu. Seperti tak ada waktu sedetik pun untuk bercanda.

Eureka membayang horror kalau saja tempat ini perlahan akan membunuhnya.

Kalau dipikir-pikir, keadaan yang sepi ini memang tepat, karena di tempat inilah berkumpulnya anak-anak ber-IQ, berambisi, dan berdisiplin  tinggi.

Sedangkan dia?

Dia hanyalah seorang anak periang yang selalu bosan dengan hal-hal yang berbau serius. Contohnya, ya seperti kegiatan ekstrakurikuler ini.

Seperti gosip beredar yang pernah dia dengar, anak-anak KIR memang terkenal pendiam, berkemauan keras, dan keras kepala. Mereka akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Itu kata mereka, sih.

Sejurus kemudian Eureka kembali ke alam nyatanya.

Dia pikir mungkin lebih baik dia segera keluar dari tempat ini, sebelum mereka menyadari keberadaannya.

Pintu itu hanya berjarak selangkah darinya. Hanya mundur selangkah, maka dia pun bebas.

Keringat mulai mengucur di dahinya. Dia menarik napas panjang.

Perlahan, dia melangkah mundurkan kakinya ke belakang. ‘Tinggal sedikit lagi aku pasti bisa keluar dari tempat menyeramkan ini. Aku pasti bisa!’ batinnya.

“Mau kemana? Cepat masuk dan tinggalkan pintu itu!”

Eureka menelan ludah. Rencananya gagal total.

Suaranya yang menggelegar membuatnya menatap guru yang terkenal dengan sebutan Pak Killer, bersamaan dengan tatapan guru yang aduhai tampannya di sebelahnya.

“I-iya.” Suara Eureka terdengar menyerah, namun tersirat rasa jengkel di dalam dadanya.

Melihat guru tampan itu masih menatapnya, sejenak rasa jengkelnya meleleh. Tekadnya untuk merasa dekat dengan guru biologi itu semakin berkobar.

Bermodal tatapan manis guru tampan itu, Eureka berusaha membuang rasa jengkelnya pada guru killer yang telah merusak rencananya barusan. Dia pun berjalan semakin masuk dan segera mencari kursi kosong.

Tapi dia hanya menemukan satu kursi yang kosong, entah kenapa hanya disediakan sembilan kursi, ditambah dengan dua kursi untuk guru tampan dan guru killer. Atau mungkin peserta di sini memang dibatasi hanya untuk sembilan orang.

Dia tarik kursi itu dari balik meja panjang dan mendudukinya. Lagi-lagi kursi kayu itu berdecit dan sedikit reyot. ‘Ukh, enggak banget! Aku merutuk dalam hati,’ jengkelnya.

Dia tersentak kaget begitu menyadari lelaki yang duduk di sebelahnya manatapnya serius. Sepertinya dia anak dari kelas 1 juga.

“Kau anak baru, ya?” sapa cowok itu setengah berbisik.

“Iya.” Jawab Eureka singkat.

“Oh, pasti kau kaget dengan situasi di sini, benar, kan?”

“Kok tahu?” suara nyaring Eureka menjuru kemana-mana, mambuat berpasang-pasang mata menyorotnya tajam.

“Uhm, maaf, ada tikus berkeliaran di kakiku.” Dia (terpaksa) berbohong.

Semua kembali normal. Mata mereka kembali menatap proposal dan jurnal yang mereka pegang.

“Jadi..., apa yang membuatmu nyasar di sini?” cowok itu melanjutkan pertanyaannya.

‘Nah, lho. Menurut kalian aku harus jawab apa? Apakah aku harus bilang kalau aku ke sini hanya untuk bertemu guru tampan?’ batinnya.

“Ehm, hanya pengen...”

“Ketemu guru biologi itu, ya?” dia menebak.

“Kok ta– hmmp!“ mulut Eureka diremas tangannya

‘Huft, hampir saja. Kalau dia tidak segera menutup mulutku, pasti aku akan dikurung dalam ruangan ini berhari-hari oleh guru yang terkenal killer itu,’ lagi-lagi Eureka membatin.

Tapi... dari mana dia tahu? Aneh.

Eureka menaikkan sebelas alisnya.

“Panggil saja aku Dhira. Dari kelas 1-B. Kamu?” dia memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya ke hadapan Eureka.

“Namaku Eureka. Dari kelas 1-F.” Eureka membalas uluran tangannya.

“Jadi..., kamu ikut kegiatan ini hanya untuk bertemu guru itu?”

Akhirnya Eureka mengangguk pasrah, walau terasa berat.

“Kamu sendiri? Kenapa kamu ikut ekskul ini?” kini giliran Eureka bertanya padanya.

“Uhm, sebenarnya...,” jeda.

Eureka menautkan dahinya, masih menunggu untaian kata berikutnya yang akan muncul dari mulutnya.

Tapi dia tidak segera berucap, dia hanya menunjuk dengan jari telunjuk tangannya ke arah sebuah pintu reyot sekitar sepuluh meter dari tempat duduk Eureka.

Pupil mata Eureka menangkap sebuah pintu reyot yang dimaksud oleh Dhira. Ternyata dia baru tahu kalau di lab ini masih ditemukan pintu lagi. Di atas pintu terdapat tulisan kusam yang bertuliskan:

Death Room.
.

Eureka mengerutkan dahinya lagi.

“Aku ikut ke sini karena aku penasaran dengan pintu itu.” ucapnya kemudian.

“Penasaran? Penasaran gimana? Itu kan hanya pintu reyot.” Eureka berdalih.

“Psst, aku akan memberitahumu, tapi kau jangan teriak, ya!”

Eureka mengangguk.

Dan dia berbisik.

“Pintu itu bukan hanya sekedar pintu. Pintu itu adalah pintu yang menghubungkan ruang lab ini, dengan sebuah gua tempat mayat pembantaian jaman Belanda dilempar.”

“HAH???”
.
.
.
___To be Continued___

Nb: Waaaa, gomen banget kalau dikit banget, ini sebenarnya udah dipublish di grup HK, tapi dengan sudut pandang yang berbeda. Nantikan kelanjutannya di chapter berikutnya :D
Thanks for Reading :)

0 komentar:

Posting Komentar